Sagu, Pangan Lokal yang Mulai Ditinggal

Ardi, warga Desa Malancan, Kecamtan Siberut Utara mengolah sagu secara tradisional

Bagi masyarakat Mentawai khususnya di Pulau Siberut, sagu yang dalam bahasa latin disebut Metroxylon, merupakan sejenis tanaman yang memiliki nilai penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan budaya mereka. Salah satunya, sagu yang setelah diolah menjadi tepung merupakan makanan pokok yang dikonsumsi sehari-hari juga pada saat pesta-pesta adat (punen).

Ardi (20) seorang warga Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara asyik menari diatas tong kayu yang berisi potongan sagu seperti diparut. Sesekali ini menimba air sungai ke dalam tong tersebut dan kembali menginjak-injak potongan sagu itu.

Dia tersenyum menyapa kedatangan kami sambil meneruskan pekerjaannya, itulah pengolahan sagu secara tradisional yang pertama kali saya temukan di Mentawai. Sebelumnya, saya sudah mengunjungi wilayah Siberut Selatan, sepeti Madobak, Ugai dan perkampungan di sepanjang sungai Silak Oinan hingga ke Tinambu yang secara administrasi masuk wilayah Siberut Tengah. Namun, tidak pernah beruntung untuk melihat masyarakat lokal mengolah sagu secara tradisonal.

Menurut Ardi, satu batang sagu setelah diolah, ia bisa mendapatkan 10-15 karung (berukuran 20 kg) sagu dan itu bisa tahan untuk makan satu keluarga selama satu bulan. Jika dijual, katanya Sagu lebih murah dari beras, meskipun raskin yang saat ini mulai menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi sebahagaian masyarakat Mentawai.

“Saat ini memang sudah mulai sulit masyarakat mengolah sagu. Jadi, saya bisa menjualnya juga selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kalau beras, mahal. Harganya Rp13.000 per kilogram,” ujarnya.

Dikatakan Ardi, ia tidak setiap hari mengolah Sagu. “Hanya ketika stok kita mulai menipis saja atau ketika ada yang mau membeli Sagu. Mengolah Sagu ini juga cukup sulit dan lama, makanya banyak masrakat yang enggan mengolah Sagu, mereka lebih memilih raskin saja,” jelasnya.

Dua orang warga Siberut Utara memarut (memotong kecil-kecil) sagu

Di Mentawai, sejak zaman nenek moyang dahulu sagu merupakan kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga tanaman ini juga dijadikan sebagai salah satu harta atau benda untuk alat pembayaran. Seperti pembayar mas kawin (alat toga), denda adat (tulou) dan transaksi pertukaran atau jual beli tradisional.

Tanaman sagu sebagi sumber bahan makanan pokok ini memiliki keunikan tersendiri dari jenis tanaman lain yang biasa dijadikan makanan pokok di kelompok masyarakat lain seperti padi. Keunikannya mulai dari cara penanaman, perawatan, sampai pemanenan dan pengolahannya menjadi bahan makanan.

Sagu biasanya ditanam di tanah berawa dan tumbuhan berumpun ini dapat tumbuh subur di Mentawai meski ditanam secara tradisional tanpa pupuk apalagi irigasi. Hemat biaya hemat pula tenaga, begitu juga dengan perawatannya. Pemilik tanaman hanya perlu sesekali merambah tanaman semak di sekitar rumpun sagu agar tidak mengganggu pertumbuhannya.

Setelah kurun waktu tertentu yang biasanya antara 8 s/d 10 tahun, sagu siap dipanen. Terasa lama memang, tetapi sistem penanaman yang tidak mengenal musim tanam  dan bisa dilakukan setiap waktu membuat ketersediaan tanaman untuk diolah menjadi bahan pangan selalu ada kapan saja dibutuhkan.

Selain itu, Sagu juga dapat diolah kapan saja sesuai kebutuhan. Di beberapa kelompok masyarakat di Pulau Siberut, mengolah sagu biasa dilakukan secara bergotong royong dalam satu uma atau klan. Bisa pula dilakukan di masing-masing rumah tangga atau keluarga inti saja. Yang pasti, semakin banyak tenaga yang terlibat semakin banyak pula jumlah sagu yang dapat diolah dan dihasilkan.

Sagu biasanya diolah dalam jumlah besar untuk dijadikan stok pangan sehari-hari maupun keperluan pesta adat  (punen). Pengolahan dengan cara tradisional baik dari peralatan maupun cara menebang, memarut sampai menghasilkan tepung  sagu, memang memakan waktu yang relative lama. Namun jika dibandingkan ketersediaan bahan pangan yang dihasilkan, masih sangat rasional untuk tetap menjadikan sagu sebagai bahan makanan pokok. Menghabiskan waktu 1 bulan mengolah sagu bisa menghasilkan persediaan pangan atau bahan makanan pokok untuk 1 tahun.

Ketika bahan pangan pokok tersedia, waktu dan perhatian dapat dialihkan untuk pekerjaan lain seperti berladang atau pemenuhan kebutuhan ekonomi lainnya.

Ardi, warga Desa Malancan, Kecamtan Siberut Utara mengolah sagu secara teradisional. Hal seperti ini sudah mulai jarang ditemui di Mentawai

Sayangnya seiring dengan masuknya pengaruh luar, sagu semakin terpinggirkan, sagu seringkali diidentikkan denganbahan makanan kurang gizi bahkan lambang ketertinggalan dari kelompok masyarakat lainnya yang mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok. Orang luar bahkan sebagian orang Mentawai sendiri seringkali memandang sebelah mata. Padahal sagu merupakan bentuk kemandirian orang Mentawai  terhadap kebutuhan pangan mereka.

Selain Sagu, Mentawai juga memiliki pangan lokal lain, seperti keladi dan umbi-umbian lainnya yang sangat mudah untuk didapatkan dari alam. Pada dasarnya, masyarakat Mentawai itu mandiri soal pangan, tidak akan kekurangan pangan meskipun mereka tidak memiliki uang.

Seperti yang ditemui di Tamairang, lokasi pengungsian bagi masyarakat Sikabaluan, Siberut Utara. Keladi dan Ubi Batang tumbuh subur di halaman puluhan pondok yang dibangun untuk tempat mengungsi jika bencana terjadi. Menurut pengakuan warga setempat dan pemuka masyarakat, pangan yang tersedia di Tamairang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama tiga bulan.

Soal pangan, Mentawai tidak perlu dicemaskan. Masyarakat sudah terbiasa hidup dengan alam yang memberikan mereka penghidupan. Cukup jaga alam mereka, jangan sampai dirusak demi kepentingan sekelompok orang. Dan, makanan pokok orang Menatwai itu Sagu bukan nasi.

Jangan jadikan raskin sebagai alasan karena daerah Mentawai masih tergolong tertinggal. Hanya persoalan geografis saja, bukan persoalan mereka kekurangan, apalagi makanan, mereka sudah mandiri soal pangan. (*)

Posting Komentar

0 Komentar