Seorang ibu rumah tangga di Desa Saureinuk, Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai panen Toek |
Makanan merupakan suatu
hal yang tidak akan pernah lepas dari keseharian kita. Setiap daerah memiliki
tentunya memiliki ciri khas dan keistimewaan kuliner tersendiri. Tidak hanya
sekedar menikmati kelezatannya, di beberapa daerah juga terdapat kuliner yang
tidak biasa untuk dikonsumsi, sebagaimana hal nya di Mentawai.
Kabupaten Kepulauan
Mentawai merupakan salah satu bahagian dari wilayah Sumatera Barat. Keindahan
alam yang disuguhkan oleh Bumi Sikerei tersebut tidak tanggung-tanggung. Selain
memiliki keindahan alam, Mentawai juga memiliki budaya, kesenian yang berbeda.
Termasuk juga makanan.
Salah satu makanan atau
kuliner cukup ekstrem yang dimiliki Mentawai, yaitu Toek. Sejenis ulat kayu
berbentuk cacing atau mie yang sudah direbus dalam rentang waktu yang cukup
lama. Warnanya putih dan ada juga yang putih agak kemerah-merahan.
Melihat dari bentuknya,
masyarakat dari luar Mentawai tentunya tidak akan banyak yang berani
mencicipinya. Namun, bagi masyarakat Mentawai Toek merupakan salah satu kuliner
yang sangat dibanggakan. Bahkan ada yang mengatakan, kalau belum memakan Toek,
berarti belum orang Mentawai. Tapi, entahlah itu hanya sekedar gurauan.
Mendapatkan Toek
tentunya tidak gampang, di beberapa daerah di Mentawai Toek juga
diperjualbelikan, karena tidak semua masyarakat Mentawai memelihara Toek.
Menurut Nali, salah seorang warga Saureinuk, terkdang ia juga menjual Toek,
harganyapun bervariasi, tergantung ukuran kayu tempat Toek itu berada. Mulai
dari harga Rp35.000,- sampai mencapai harga Rp200.000,-.
Toek merupakan hasil
dari endapan kayu yang direndam di dalam air selama beberapa bulan. Ada yang
mengatakan dua bulan dan ada juga tiga bulan. Semakin lama kayu itu direndam,
maka akan semakin banyak menghasilkan Toek.
Kayu yang dapat
mengahasilkan Toek, tentunya bukan sembarangan kayu. Masyarakat Mentawai menyebutnya
kayu Tumung atau yang dikenal dengan kayu Terentang (Campnosperma Auriculatum).
Kayu tersebut akan banyak kita jumpai di hutan-hutan Mentawai.
Nah, proses bagaimana
kayu tersebut bisa menghasilkan Toek, menurut Nali bahwa kayu tersebut
dipotong-potong sesuai ukuran yang dibutuhkan, mulai dari 30 sampai100
centimeter. Setelah itu akan dilakukan perendaman selama dua sampai tiga bulan.
Jadi, agar mengetahui bahwa kayu tersebut sudah menghasilkan Toek, akan
terlihat dari kulit kayu itu sendiri, akan ada bintik-bintik, katanya.
Toek yang ada di Kayu Tumung siap untuk dipanen |
Namun, dikatannya
perendaman kayu agar dapat menghasilkan Toek yang besar juga memilki trik-tris
tersendiri. Jadi, kayu tersebut bukan direndam disembarangan tempat. Agar
mendapatkan Toek yang berkualitas, perendaman kayu dilakukan di sungai-sungai
yang mengalir ke laut. Jadi, air sungai tersebut bercampur dengan asinnya air
laut.
“Di sungai-sungai biasa
juga bisa dilakukan perendaman kayu tersebut. Namun, hasilnya akan berbeda.
Kayu tumung direndam di sungai yang berada dekat dengan laut dan airnya
bercampur dengan asinnya air laut, maka kayu tersebut juga akan mengasilkan
Toek yang besar dan berkualitas,” ungkapnya.
Setelah dilakukan
perendaman selama dua atau tiga bulan, maka tibalah waktunya untuk memanen
Toek. Kayu tersebut dibelah, dan akan terlihat Toek-toek yang berbentuk cacing
atau mie yang direbus dalam rentang waktu cukup lama. Kayu tersebut telihat
berlobang-lobang didalamnya. Nah, itulah yang dikumpulkan lalu dimakan.
Menikmati atau
menyantap Toek, sangat mudah sekali. Cukup mengambil Toek dari batang tumung
itu, lalu dibersihkan dan bisa langsung dimakan. Ada juga, yang menikmati Toek
dengan cara direbus/ditumis dahulu, setelah itu dikasih jeruk nipis/asam dan
irisan bawang merah serta cabe rawit.
“Rasanya sangat
nikmat,” kata Nali.
Bagi anda yang
penasaran bagaimana rasanya Toek, silahkan datang ke Mentawai. Salah satu
daerah penghasil Toek yang cukup dikenal di Mentawai, yaitu Desa Saureinuk.
0 Komentar