"Akses
jalan hanya melewati sungai, musim hujan, perkampungan Gorottai dilanda banjir.
Jika kemarau, kita harus mendorong Pompong (Perahu Kayu) agar dapat sampai ke
perkampungan tersebut. Hingga saat ini, hanya 10 Kepala Keluarga (KK) yang
masih bertahan di wilayah itu,"
Leperia (32),
satu-satunya guru di perkampungan Gorottai, Desa Malancan, Kecamatan Siberut
Utara. Meskipun hanya memiliki empat orang murid, Leperia tak kenal lelah demi
cita-cita dan pendidikan anak-anak didiknya.
Sekolah Hutan atau yang
dikenal dengan nama Sekolah Uma Gorottai resmi dibuka 12 Juli 2015 lalu,
mengacu pada Peratuan Menteri Pendidikan Nasional, nomor 72 tahun tahun 2012
tentang Pendidikan Layanan Khusus.
Sekolah Uma Gorottai
dibangun secara swadaya oleh masayarakat setempat, juga dibantu salah satu
Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) yang fokus memperjuangkan hak masayarakat
adat Mentawai, yaitu Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM).
Awal berdirinya Sekolah
Uma Gorottai, sekolah itu memiliki lima orang murid. Namun, pertengahan 2017 lalu, salah seorang dari murid pindah ke pusat Desa. Hingga saat ini, empat
orang murid Sekolah Uma Gorottai masih bertahan demi dapat mengenyam
pendidikan.
Bangunan Sekolah Uma Gorottai di Perkampungan Baru |
Selain itu, Sekolah Uma
Gorottai juga sudah dibangun gedung baru, akhir 2017 lalu. Gedung tersebut
bereda di perkampungan baru Gorottai, berjarak sekira tiga kilometer dari
perkampungan lama. Dan masayarakat Gorottai juga sedang mempersiapkan bangunan
baru di perkampungan baru tersebut.
Perkampungan Baru
sengaja dibangun karena Perkampungan Lama tidak lagi kondusif, meskipun
tanahnya subur dan perladangan warga ada di sana, namun setiap musim hujan,
warga harus berhadapan dengan bajir. Bahkan, rumah yang ada di sana, kebanyakan
tidak berdiri di tempat semula, sudah banyak yang terseret banjir.
Terkait Perkampungan Baru
Gorottai, bisa dibaca di link berukut:
Salah satu rumah warga Gorottai yang bergeser dari posisi semula, bahkan hingga menutupi badan jalan akibat sering diterjang banjir |
Kembali ke Sekolah Uma
Gorottai, menurut Leperia, saat ini bangunan sekolah di Perkampungan Baru sudah
digunakan. Bangunan tersebut dibangun secara swadaya dan bantuan YCMM juga. “Kita
sudah mulai belajar di Perkampungan Baru, kalau melewati sungai, mereka saya
gendong,” ujarnya.
Kondisi Perkampungan Gorottai Lama. Rumah-rumah warga miring akibat kerap diterjang banjir |
Selain itu, kata
Leperia, dalam perjalanan ke Perkampungan Baru, banyak yang bisa dimanfaatkan
sebagai bahan ajar. “Ya, begitulah kita, sambil jalan, kan banyak yang bisa
dijadikan alat peraga. Meskipun kita di pedalaman, sekolah tidak sebagus
sekolah yang ada di kota. Namun, kita tetap bisa belajar dan menimba ilmu
pendidikan,” ungkapnya.
Kondisi yang ada,
menurut Leperia merupakan tantangan yang tidak harus dikeluhkan. “Kita tetap
semangat melihat anak-anak didik kita bisa semangat dalam menimba ilmu. Meski
tantangan yang kita hadapi tergolong berat. Namun, disitulah arti pentingnya
sebuah pendidikan, agar kita bisa menghargai betapa pentingnya ilmu pengetahuan
tersebut,” jelasnya.
Leperia dan murid-muridnya di bangunan Sekolah Uma lama |
Diceritakan Leperia,
setiap hari sekolah, dia bersama empat orang muridnya yang masih bertahan
hingga saat ini harus berjalan sejauh tiga kilometer untuk kesekolah. “Sekarang,
kita masih tinggal di Perkampungan Lama. Di Perkampungan Baru bangun belum
selesai semua, baru ada satu rumah di sana,” uangkap Leperia.
Kaki terkena duri,
pakaian bergelimang lumpur ataupun lelahnya berjalan menyusuri perbukitan Leousigukguk,
perjuangan dan semangat kami tidak akan pernah luntur, kata Leperia.
Menurutnya, saat ini
Leperia bersama YCMM sedang memperjuangkan Nomor Induk Siswa (NIK) untuk keempat
orang muridnya, Theresia Ratna (10), Clara Marsalina (8), Parjo (7) dan Antonius
(10). Nomor itu berguna sebagai legalitas bagi keempat muridnya untuk bisa
mengikuti Ujian Nasional (UN).
Ratna dan Anto, duduk
di kelas 4, sedangkan Clara, kelas 2 dan Parjo, kelas 1. “Semoga nanti, setelah
menuduki kelas 6, mereka bisa ikuti UN,” ujar Leperia.
Leperia berharap, semua
anak didiknya bisa mendapatkan pendidikan yang layak, sama halnya yang didapat
anak-anak Indonesia lainnya. “Kita punya mimpi dan cita-cita untuk kita
wujudkan bersama. Saya juga masih terus mengejar mimpi saya sebagai guru,
melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka (UT),” ungkapnya.
Kalau ingin mimpi itu
terwujud, harus kita usahakan, walau appaun tantangannya. “Kalau bukan kita,
siapa lagi? Tidak banyak orang yang mau mengabdi di pedalaman dengan kondisi
seperti ini. Yang jelas, kita punya mimpi mewujudkan pendidikan yang layak bagi
anak-anak didik kita, agar mereka juga bisa mengejar impian mereka
masing-masing,” jelas Leperia.
Sungai Silakoinan. Jalur untuk menuju empat perkampungan yang ada di wilayah tersebut, diantaranya; Magosi, Salappak dan Bekkeiluk, termasuk Tinambu yang berada di hulu |
Selain Gorottai, YCMM
juga membangun Sekolah Uma di beberapa wilayah pedalam Mentawai. Seperti,
Sekolah Uma Tinambu, lokaisnya di Desa Tinambu, Desa Saliguma, Kecamatan Siberut
Tengah. Agar bisa sampai ke lokasi tersebut, kita harus naik perahu atau yang
kerap disebut Pombong, dengan 8 jam perjalanan. Akses jalan kesana melalui
jalur Sungai Silakoinan, tepatnya di hulu sungai tersebut, atau bisa juga lewat
Desa Saliguma, namun menempuh perjalanan lebih jauh dan harus melewati jalan
setapak di hutan, dengan jarak tempuh 6 jam.
Tidak hanya itu, YCMM
juga membangun Sekolah Uma Siata Nusa di Perkampungan Attabai, Desa Madobag,
Kecamatan Siberut Selatan.
0 Komentar