Demi Pendidikan dan Memperjuangkan Nasib di Pedalaman Mentawai

Mereka (kiri ke kanan) Parjo, Anto, Wance, Clara dan Ratna menunggu guru di lokal. Foto ini dimabil 2016 lalu, di bangunan Sekolah Uma di Perkampungan Lama, sebelum Wance pindah sekolah ke pusat Desa.
"Akses jalan hanya melewati sungai, musim hujan, perkampungan Gorottai dilanda banjir. Jika kemarau, kita harus mendorong Pompong (Perahu Kayu) agar dapat sampai ke perkampungan tersebut. Hingga saat ini, hanya 10 Kepala Keluarga (KK) yang masih bertahan di wilayah itu,"

Leperia (32), satu-satunya guru di perkampungan Gorottai, Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara. Meskipun hanya memiliki empat orang murid, Leperia tak kenal lelah demi cita-cita dan pendidikan anak-anak didiknya.

Sekolah Hutan atau yang dikenal dengan nama Sekolah Uma Gorottai resmi dibuka 12 Juli 2015 lalu, mengacu pada Peratuan Menteri Pendidikan Nasional, nomor 72 tahun tahun 2012 tentang Pendidikan Layanan Khusus.

Sekolah Uma Gorottai dibangun secara swadaya oleh masayarakat setempat, juga dibantu salah satu Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) yang fokus memperjuangkan hak masayarakat adat Mentawai, yaitu Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM).

Awal berdirinya Sekolah Uma Gorottai, sekolah itu memiliki lima orang murid. Namun, pertengahan 2017 lalu, salah seorang dari murid pindah ke pusat Desa. Hingga saat ini, empat orang murid Sekolah Uma Gorottai masih bertahan demi dapat mengenyam pendidikan.

Bangunan Sekolah Uma Gorottai di Perkampungan Baru
Selain itu, Sekolah Uma Gorottai juga sudah dibangun gedung baru, akhir 2017 lalu. Gedung tersebut bereda di perkampungan baru Gorottai, berjarak sekira tiga kilometer dari perkampungan lama. Dan masayarakat Gorottai juga sedang mempersiapkan bangunan baru di perkampungan baru tersebut.

Perkampungan Baru sengaja dibangun karena Perkampungan Lama tidak lagi kondusif, meskipun tanahnya subur dan perladangan warga ada di sana, namun setiap musim hujan, warga harus berhadapan dengan bajir. Bahkan, rumah yang ada di sana, kebanyakan tidak berdiri di tempat semula, sudah banyak yang terseret banjir.


Salah satu rumah warga Gorottai yang bergeser dari posisi semula, bahkan hingga menutupi badan jalan akibat sering diterjang banjir
Terkait Perkampungan Baru Gorottai, bisa dibaca di link berukut:

Kembali ke Sekolah Uma Gorottai, menurut Leperia, saat ini bangunan sekolah di Perkampungan Baru sudah digunakan. Bangunan tersebut dibangun secara swadaya dan bantuan YCMM juga. “Kita sudah mulai belajar di Perkampungan Baru, kalau melewati sungai, mereka saya gendong,” ujarnya.

Kondisi Perkampungan Gorottai Lama. Rumah-rumah warga miring akibat kerap diterjang banjir
Selain itu, kata Leperia, dalam perjalanan ke Perkampungan Baru, banyak yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan ajar. “Ya, begitulah kita, sambil jalan, kan banyak yang bisa dijadikan alat peraga. Meskipun kita di pedalaman, sekolah tidak sebagus sekolah yang ada di kota. Namun, kita tetap bisa belajar dan menimba ilmu pendidikan,” ungkapnya.

Kondisi yang ada, menurut Leperia merupakan tantangan yang tidak harus dikeluhkan. “Kita tetap semangat melihat anak-anak didik kita bisa semangat dalam menimba ilmu. Meski tantangan yang kita hadapi tergolong berat. Namun, disitulah arti pentingnya sebuah pendidikan, agar kita bisa menghargai betapa pentingnya ilmu pengetahuan tersebut,” jelasnya.

Leperia dan murid-muridnya di bangunan Sekolah Uma lama
Diceritakan Leperia, setiap hari sekolah, dia bersama empat orang muridnya yang masih bertahan hingga saat ini harus berjalan sejauh tiga kilometer untuk kesekolah. “Sekarang, kita masih tinggal di Perkampungan Lama. Di Perkampungan Baru bangun belum selesai semua, baru ada satu rumah di sana,” uangkap Leperia.

Kaki terkena duri, pakaian bergelimang lumpur ataupun lelahnya berjalan menyusuri perbukitan Leousigukguk, perjuangan dan semangat kami tidak akan pernah luntur, kata Leperia.

Menurutnya, saat ini Leperia bersama YCMM sedang memperjuangkan Nomor Induk Siswa (NIK) untuk keempat orang muridnya, Theresia Ratna (10), Clara Marsalina (8), Parjo (7) dan Antonius (10). Nomor itu berguna sebagai legalitas bagi keempat muridnya untuk bisa mengikuti Ujian Nasional (UN).

Ratna dan Anto, duduk di kelas 4, sedangkan Clara, kelas 2 dan Parjo, kelas 1. “Semoga nanti, setelah menuduki kelas 6, mereka bisa ikuti UN,” ujar Leperia.

Leperia berharap, semua anak didiknya bisa mendapatkan pendidikan yang layak, sama halnya yang didapat anak-anak Indonesia lainnya. “Kita punya mimpi dan cita-cita untuk kita wujudkan bersama. Saya juga masih terus mengejar mimpi saya sebagai guru, melanjutkan pendidikan di Universitas Terbuka (UT),” ungkapnya.

Kalau ingin mimpi itu terwujud, harus kita usahakan, walau appaun tantangannya. “Kalau bukan kita, siapa lagi? Tidak banyak orang yang mau mengabdi di pedalaman dengan kondisi seperti ini. Yang jelas, kita punya mimpi mewujudkan pendidikan yang layak bagi anak-anak didik kita, agar mereka juga bisa mengejar impian mereka masing-masing,” jelas Leperia.

Sungai Silakoinan. Jalur untuk menuju empat perkampungan yang ada di wilayah tersebut, diantaranya; Magosi, Salappak dan Bekkeiluk, termasuk Tinambu yang berada di hulu
Selain Gorottai, YCMM juga membangun Sekolah Uma di beberapa wilayah pedalam Mentawai. Seperti, Sekolah Uma Tinambu, lokaisnya di Desa Tinambu, Desa Saliguma, Kecamatan Siberut Tengah. Agar bisa sampai ke lokasi tersebut, kita harus naik perahu atau yang kerap disebut Pombong, dengan 8 jam perjalanan. Akses jalan kesana melalui jalur Sungai Silakoinan, tepatnya di hulu sungai tersebut, atau bisa juga lewat Desa Saliguma, namun menempuh perjalanan lebih jauh dan harus melewati jalan setapak di hutan, dengan jarak tempuh 6 jam.

Tidak hanya itu, YCMM juga membangun Sekolah Uma Siata Nusa di Perkampungan Attabai, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan.


Posting Komentar

0 Komentar