Ritual Pasinene Monei yang dilakukan Teu Sanang dan Sikebbukat Uma Sabulukungan, Toggilat |
“Pohon
dengan ukiran telapak kaki atau tangan orang yang sudah meninggal disebut
dengan Kirekat. Di Mentawai, adat dan tradisi Kirekat masih melekat di
tengah-tengah masayarakat hingga saat ini. Pohon (Kirekat) dianggap sebagai
rumah bagi arwah keluarga mereka yang telah meninggal,”
Daniel Tatebburuk atau
lebih akrab disapa Toggilat (Nama yang diberikan turun temurun) menatap pohon
durian berdiameter sekira 60 cm itu dengan wajah sendu, tatapannya begitu
dalam, dengan berlahan Daniel menghapiri pohon tersebut. “Ini ditumbangkan
orang karena membangun jalan,” katanya.
Kemudian, Daniel
memegang pohon tersebut, ia berkata “Anak saya di sini, dua orang. Satu lagi Abang
saya,” jelasnya.
__ __ __ __ __
Cek juga di....
Mengenang "Kenangan" yang Ditumbangkan
__ __ __ __ __
Tidak begitu lama, Stefanus atau yang dikenal Teu (Panggilan untuk Kakek) Sanang membawa beberapa dedauanan dan satu potong batang bambu berisi air, lalu dia mendekati Daniel.
__ __ __ __ __
Cek juga di....
Mengenang "Kenangan" yang Ditumbangkan
__ __ __ __ __
Tidak begitu lama, Stefanus atau yang dikenal Teu (Panggilan untuk Kakek) Sanang membawa beberapa dedauanan dan satu potong batang bambu berisi air, lalu dia mendekati Daniel.
Teu Sanang mulai
memilih dedaunan yang ia bawa sambil membacakan doa/mantra dalam bahasa Mentawai,
ritual dimulai. Lalu, dedauanan yang telah dipilih Teu Sanang, tangkainya
dimasukkan kedalam bambu. Ritual Pasinene
Monei (permintaan maaf), dimulai.
Pohon tersebut
merupakan Kirekat milik suku
Sabulukungan.
Kirekat
merupakan ukiran telapak kaki, telapak tangan dan postur tubuh orang yang sudah
meninggal di salah satu pohon. Pembuatan kirekat bertujuan untuk mengenang kerabat
yang sudah meninggal. Hingga saat ini, sebahagian besar masyarakat Mentawai
yang bermukin di Pulau Siberut, pembuatan Kirekat
masih dilakukan.
Kirekat
tersebut, biasanya dibuat di pohon Durian yang bagus, subur dan berbuah lebat.
Jika sudah dijadikan Kirekat, maka
pohon tersebut tidak boleh dijadikan Alat
Toga (mas kawin), apalagi ditebang. Karena, dalam adat Mentawai, salah satu
mas kawin yang diberikan itu adalah pohon durian.
Pembuatan Kirekat dilaksanakan setelah upacara
penguburan, ukuran telapak kaki, tangan dan postur tubuh diukir di kulit pohon
Sagu, yang digambar menggunakan pena atau spidol serta alat tulis yang dapat
dijadikan untuk menggambarkannya.
Setelah ukiran itu
selesai, maka anggota suku akan beramai-ramai mendatangi pohon durian yang
telah dipilih, lalu mengukirnya menggunakan pahat atau parang.
Bagi orang Mentawai, Kirekat merupakan barang yang sangat
berharga. Pantangan bagi mereka merusak, apalagi menebang Kirekat tersebut. Jika ada yang merusak atau menebangnya, maka
orang tersebut akan Ditulou (Didenda).
Tulou
di Mentawai, itu tergantung kepada kesepakatan anggota suku, bahkan semua
barang milik orang yang ditulou boleh
mereka ambil.
Teu Sanang berada di pohon Kirekat milik Suku Sabulukungan yang ditumbangkan untuk pembukaan jalan |
Penebangan Kiriekat milik suku Sabulukungan oleh
Dinas Pekerjaan Umum untuk membuka jalan trans Mentawai, dikatakan Toggilat,
mereka (anggota suku-red) tidak diberitahu. “Kami tidak tahu, ketika saya
datang kesini, pohon itu sudah tumbang. Saya laporkan ke pemerintah Dusun, Desa dan juga Kecamatan, mereka juga tidak tau katanya,” ungkap Toggilat.
Meskipun Kirekat milik suku Sabulukungan tumbang
karena pembukaan jalan, dinas terkait akan tetap dikenakan denda. “Iya, akan
kami denda, ada sepuluh macam dendanya, itu harus mereka bayar,” jelas
Toggilat.
0 Komentar