Panah dan Racun Tradisional Ala Masyarakat Mentawai

Masyarakat Kepulauan Mentawai memiliki cara unik untuk berburu, meskipun hidup di daerah kepulauan, mereka lebih cenderung hidup di hutan daripada memilih jalan sebagai nelayan. Cara berburu, meracik racun panah secara tradisional merupakan salah satu keahlian yang diturunkan secara turun temurun laki-laki Mentawai.
_ _ _

Para Sikerei di Hutan Mapaddegat, Sipora Utara, Mentawai
Aman Boroi Ogok, seorang Sikerei dari Muntei, Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai memperlihatkan peratalan berburunya, berbicara menggunakan bahasa Mentawai, ia menunjuk busur panah yang ia pegang, Aman Boroi Ogok menyebutnya Rourou. Begitu juga orang Mentawai menyebut nama busur panah berbahan dasar batang enau tersebut.

Sambil berjalan menuju Hutan Mapaddegat, Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai, dalam rangkaian acara yang digelar pemerintah setempat, Aman Boroi Ogok menjelaskan bahan-bahan yang digunakan untuk membuat busur panah dalam bahasa Mentawai, yang kemudian diterjemahkan oleh salah seorang Sikerei yang juga bersal dari Desa Muntei, Siberut Selatan, Pangarita Siritoitet (56), dia fasih berbahasa Indonesia.

Rourou merupakan senjata ampuh yang dimiliki masyarakat Mentawai, selain untuk berburu hewan buruan di hutan, Rourou juga digunakan sebagai alat perisai musuh dan untuk berperang dahulunya.

Sedangkan tali yang terpasang pada busur panah juga berasal dari hutan, terbuat dari salah satu kulit kayu benama pohon Koka. Ketahanan kulit kayu tersebut sudah teruji, sudah lama masyarakat menggunakannya untuk tali penarik pada Rourou.

Panjang Rourou yang digunakan biasanya bervariasi, sesuai kebutuhan pemakai. Rata-rata mereka menggunakan Rourou dengan panjang 2 atau 1,5 meter, untuk orang dewasa. Sedangkan bagi pemanah pemula atau anak-anak, menyesuaikan dengan tubuh mereka.

Baca juga: Kepingan Surga di Pelataran Samudera HindiaMenurut Pangarita, anak panah yang digunakan di Mentawai ada beberapa versi, ujung runcing biasa digunakan untuk memanah monyet, sedangkan ujung anak panah berbentuk segi tiga, digunakan untuk memanah babi dan hewan buruan yang berukuran lebih besar, seperti kijang dan lainnya.

“Ada satu lagi bentuk ujung anak panahnya, ujungya lebih tumpul, biasa digunakan untuk memanah hewan buruan sejenis burung atau ayam hutan,” kata Pangarita.

Anak panah yang digunakan tersebut memiliki tangkai sepanjang 1 meter, terkadang juga menyesuaikan dengan busur panah/Rourou. Tangkainya terbuat dari salah satu pelapah pohon yang ada di hutan Mentawai, masyarakat setempat menyebutnya pohon duri.

Berburu hewan buruan di hutan, dikenal dengan istirah Murourou, hanya kaum laki-laki saja yang boleh melakukannya. Karena itulah, laki-laki Mentawai terampil dalam memanah. Keterampilan tersebut merupakan hal yang wajib bagi laki-laki Mentawai.

Selian itu, laki-laki Mentawai jug sudah terlatih menggunakan panah tradisional, mereka belajar sejak usia 5 tahun, menggunakan panah yang terbuat dari bambu. Ketika usia mereka beranjak 10 tahun, barulah mereka mulai menggunakan panah tradisonal Mentawai, dan memiliki racun di ujungnya.

Saat itulah, upacara adat digelar, dengan tujuan agar laki-laki terbut terhindar dari marabahaya. Karena hutan memiliki jiwa, yang hidup bersama manusia, mereka (masyarakat Mentawai-red) mempercayai itu semua.

Membuat Racun dan Patangan Berburu di Hutan

Aman Boroi Ogok, Sikerei dari Desa Muntei, Siberut Selatan, Mentawai memperagakan cara memanah menggunakan panah tradisional Mentawai di Hutan Mapaddegat
Memang, kegiatan memanah bagi masyarakat Mentawai, sama halnya dengan memanah pada umumnya. Namun, mereka memiliki kepercayaan dan patangan dalam melaksanakannya. Tidak sembarangan bagi mereka jika ingin memasuki hutan, begitupun ketika mereka membuat racun untuk anak panah tersebut.

Membuat racun tersebut juga tidak sembarangan, dan memiliki pantangan.

Sebagaimana yang dikatakan Pangarita, racun panah dibuat di hutan, tidak boleh ada perempuan di sana. “Biasanya, kami membuat racun panah itu di hutan. Perempuan tidak boleh berada di pondok tempat kami membuat racun panah tersebut, jika itu dilanggar, maka racunnya tidak akan berfungsi,” jelasnya.

Membuat racun panah, masyarakat Mentawai akan mempersiapakan bahan-bahannya, antara lain yaitu Daun Omai, Batang Ragi, Akar Laingik atau juga dikenal dengan Akar Tuba, Daro (cabe rawit), Kulit Kayu Lappak, dan Bagglau (lengkuas).

Selain itu, diperlukan alat-alat berupa Pepeccle (penjepit dari kayu), Letcu (gelang asal Mentawai terbuat dari rotan), Gigiok (pemarut dari duri dahan ruyung), Luklak (baki tradisional Mentawai yang terbuat dari kayu), Tutuddu (alat penumpuk dari kayu), serta tempurung untuk menampung cairan racun anak panah.

Langkah pertama, mengupas Batang Ragi dengan parang, lalu memarut kulitnya hingga halus. Kemudian, Cabai Rawit dan Lengkuas juga diparut dan dicampur dengan parutan batang ragi tersebut.

Selanjutnya, keluarkan cairan dari Akar Tuba dan Kulit Kayu Lappak dengan cara menumbuknya, lalu campurkan cairan tersebut dengan bahan-bahan lain agar cair.

Aman Boroi Ogok

Racun yang sudah jadi, ditampung dalam tempurung yang sudah disiapkan menggunakan gelang rotan/Letcu.

Sedangkan, mengeoleskan racun pada ujung anak panah, digunakan kuas yang terbuat dari ekor tupai yang diberi tangkai dengan bambu. Panah beracun tersebut, biasanya digunakan untuk berburu Rusa, Babi dan Monyet. “Dosis yang diguanakan untuk berburu itu rendah, jika dutambah, racun itu bisa membunuh manusia,” kata Pangarita.

Tidak hanya itu, berburu di hutan menggunakan panah tradisonal atau yang dikenal dengan nama Murourou, juga memiliki pantangan. Diantaranya, kata Pangarita, tidak boleh berhubungan suami istri sebelum berburu tersebut.

“Sebelum pergi berburu, maka akan dipersiapakan bekal yang akan dibawa, seperti air minum, rokok, parang serta membawa anjing, sebagai pendeteksi hewan buruan seperti Babi,” ungkapnya.

Setelah itu, patangan yang harus dijalankan, bahwa sehari sebelum berburu, dilarang tidur dengan istri, apalagi behubungan badan, jika dilanggar, mayarakat Mentawai percaya bahwa tidak akan mendapatkan hewan buruan.

Selain itu, juga dilarang memakan, makanan asam. “Dua itu pantangan yang paling utama,” jelasnya.

Pantangan lain, kata Pangarita, sebemum mengambil racun anak panah, diharuskan mandi terlebih dahulu. Lalu, mengoleskan ramuan ke seluruh tubuh, disebut dengan nama Mukiniu, hal itu untuk membersihkan tubuh.

Selain patangan di atas, saat berburu juga tidak boleh meminum ai dingin (belum direbus), dan juga tidak boleh mengonsumsi gula.

Namun, ada hal yang menarik terkait perburuan yang dilakukan di Mentawai, bahwa mereka tidak boleh memburu hewan buruan dalam jumlah banyak, hanya sekedar untuk keperluan dan kebutuhan saja. Hal ini merupakan salah satu cara bagi masyarakat Mentawai menjaga dan menghormati alam.

Lalu, setelah berburu dan menikmati hewan buruan, maka pemburu akan memakan salah satu jenis buah-buahan yang tumbuh di hutan Mentawai, dikenal dengan nama Lacco, saat itulah pantangan berburu lepas dan boleh melakukan kegiatan sehari-hari sebagaimana biasanya.

Namun, sayangnya, saat ini tradisi Murourou semakin ditinggalkan, selain pantangan dan melakukannya dipandang memberatkan, kaum muda lebih banyak memilih yang instan, menggunakan senapan angin, karena dinilai lebih enteng dan mudah.

Tentang Mentawai, baca juga:
Demi Pendidikan dan Memperjuangkan Nasib di Pedalaman Mentawai
Ketika Mereka “Meninggal Dunia” untuk Kedua Kalinya
Sagu, Pangan Lokal yang Mulai Ditinggal
Toek, Kuliner Ekstrem Dari Bumi Sikerei
Tato (terakhir) di Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai 

Posting Komentar

0 Komentar