Membangun Kemandirian di Pinggiran Perkebunan Teh Solok Selatan

1970 lalu, masyarakat yang berasal dari Pulau Jawa kontrak kerjanya berakhir dengan salah satu perusahaan teh di Solok Selatan. Sebahagian mereka ada yang kembali ke tanah jawa dan sebahagian lagi memilih bertahan dan tinggal dipinggiran perkebunan karena tidak memiliki biaya untuk pulang.

Air Terjun Baskom yang dijadikan salah satu desinasi wisata di Wonorejo yang merupakan aliran sungai untuk PLTMHA
Hamparan perkebunan teh bagian kiri jalan masuk ke perkampungan Wonorejo, Solok Selatan terlihat sangat hijau, berdinding gunung Kerinci yang menjulang tinggi. Derain kerikil saling bersahutan ketika ban mobil yang dikendarai melaju, terus menelusuri pinggiran perkebunan teh Solok Selatan.

Kicauan burung, udara segar serta percikan air dari jalan berlobang dilindas ban mobil, mendesir. Seorang laki-laki paruh baya terlihat membawa rumput dengan sepeda motornya yang sudah tua, spare park motor tidak lagi lengkap, tanpa nomor polisi dan pria itu tidak memakai alas kaki, rumput yang diikat dibagian belakang, ujungnya sesekali terlihat menyapu rerumputan dipinggir jalan.

Sekira 1 kilometer perjalanan yang ditempuh, sebelah kanan akan bertemu dengan rumah warga, halaman luas yang ditanami berbagai tanaman dan bunga. Biji coklat yamg dijemur juga terhapar dihalaman rumah tersebut. Di sisi kiri, di pinggiran perkebunan teh, lapangan bola sekira 30 x 15 meter terlihat mulai tumbuh reruputan liar.

Terus melanjutkan perjalan, rumah warga di sisi kiri dan kanan jalan mulai ramai, lima orang terlihat sedang perbaikan irigasi di perkampungan itu, senyum dan sapa mereka begitu ramah ketika kami melewatinya.

Di ujung perkampungan, sampai di lokasi pemandian Kupitan dan parkir mobil di lokasi tersebut. Lalu, menuju ke sebuah warung untuk beratanya lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMHA) dan air terjun di perkampungan itu. “Masih ada sekitar 1 kilometer lagi ke atas, Nak. Kalau pakai mobil avanza itu, tidak bisa naik ke atas,” ujar ibu-ibu penjaga warung di sana.

Lalu, mencoba mencari masyarakat di sana agar bisa mengatarkan ke lokasi yang dituju dengan menggunakan sepeda motor dan juga menghubungi soerang fasilitator pemberdayaan pemuda dan perempuan di Wonorejo, Riki Hendra Mulya. Sudah sejak berangkat dari Padang, lalu berkomunikasi dengan Riki.

Sambil membuatkan kopi di salah satu bangunan separoh jadi milik warga setempat, Riki bercerita bahwa hingga saat ini masih banyak satwa liar dan dilindungi berkeliaran di perkampungan warga Wonorejo. “Di sana, kita sering melihat burung rangkong/enggang gading dan enggang badak bertengger,” ujarnya sambil menujuk salah satu pohon besar di tepi sungai.

Selain itu, owa bilou (Hylobates agilis), Siamang (Symphalangus syndactylus) dan Simpai/Camang (Presbytis melalopos) kerap juga terlihat di belakang rumah warga serta di tepi sungai dan air terjun Wonorejo, katanya.

Selama Riki bertugas di Wonorejo sejak akhir 2015, dikatakannya kondisi Wonorejo sangat dekat dengan alam, satwa liarpun kerap dijumpai. “Memang, sebahagian orang menilai itu hama tanaman. Namun, kita mulai menerapkan untuk menanam segala jenis tumbuhan berbuah, agar mereka ada makanan dan tidak mengganggu perladangan warga,” jelasnya.

Kupitan Water Falls, salah satu lokasi wisata di Wonorejo
Wonorejo merupakan salah satu perkampungan yang dihuni 176 Kepala Keluarga (KK) yang berasal dari pulau jawa. Ketika berkunjung ke perkampungan tersebut, suasana jawanya masih kental, bahasa yang mereka gunakan sehari-haripun masih tetap bahasa jawa. Sejak 1970 mereka telah membuka perkampungan di daerah tersebut.

Awalnya, kehidupan sekitar 60 orang mantan pekerja perusahaan teh di ranah Minang tersebut tidak begitu sejahtera, mencari tempat berpijak tak selalu mudah, karena terkendala kepemilikan tanah (tanah ulayat-red). Cikal bakal perkampungan Wonorejo awalnya mulai menggarap daearah Gantiang, Sungai Barameh, Solok Selatan. Namun, setelah enam minggu mulai digarap, penghulu (pemilik tanah ulayat) melarang untuk ditaruko (pembukaan lahan) dengan alasan tanah tersebut milik kaum (suku).

Perwakilan dari 60 orang cikal bakal masyarakat Wonorejo kembali menghadap ke Pemerintah Nagari, hingga akhirnya mereka diberikan kewenangan untuk membuka lahan yang akan dijadikan perkampungan di daerah Sungai Barameh Dalam (lahan ex verponding Timbarau 307 dan lahan HGU PTP VIII) yang saat ini dikenal dengan nama Wonorejo bagian utara.

Perjuangan masyarakat Wonorejo tidak hanya sampai di sana, pembukaan lahan yang semula hutan belantara hingga dijadikan perkampungan warga menghabiskan waktu hingga 5 minggu berturut-turut, setiap harinya warga bergontong royong secara bergantian yang dibentuk dalam beberapa tim.

Menurut Riki Hendra Mulya, nama Wonorejo diambil dua suku kata “Wono” yang berarti hutan dan “Rejo” berarti ramai. “Perkampungan ini hutan yang diramaikan, karena memang ini dahulunya hutan belantara,” jelasnya.

Selain itu, Sargiono (38) seorang warga Wonorejo menyebutkan bahwa kehidupan mereka di Wonorejo sangat nyaman, meskipun berada di pinggiran wilayah Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan teh, mereka tidak selalu harus mengagntungkan diri terhadap perusahaan tersebut.

Kehidupan masyarakat Wonorejo sudah mandiri, mereka tidak kekurangan pangan, hidup berkecukupan, bahkan untuk pendidikan anak-anak. “Kita di sini juga punya ladang. Berbagai tanaman kita tanam, seperti Kopi, Cengkeh dan juga Pala,” ujarnya.

Sargiono dan anaknya, zaki mengantar ke lokasi Air Terjun Baskom
Soal listrik, Sargiono tidak lagi menghiraukannya, meskipun listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak mereka dapatkan. “Kita punya listrik sendiri, dikelola oleh warga dan untuk warga. Bayar bulananpun sangat murah, tidak semahal PLN,” ungkapnya.

Jika dihitung per bulan, rata-rata kata Sargiono, warga hanya perlu mengeluarkan paling besar Rp70.000 untuk listrik. Biaya yang dikelurakan untuk mendapatkan listrik satu titik lampu hanya Rp2.500 per bulan, jika menggunakan dispenser, biayanya ditambah Rp5.000, begitupun juga untuk penggunaan televisi, biaya perbulan ditambah Rp5.000.

“Hingga saat ini, kita tidak pernah merasa kekurangan, kita hidup berkecukupan. Bahkan, untuk jaringan seluler tidak ada kendala, komunikasi kita lancar saja di sini,” katanya.

Sejarah Berdirinya PLTMHA Wonorejo

Selain menceritakan bagaimana sulit mendapatkan lahan untuk membuka perkampungan, Sukirman Muhammad Ramzes, salah seorang generasi pertama yang menempati Wonorejo mengatakan sejak dahulu mereka tidak pernah mendaptkan layanan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Dikatakannya, sejak 1990-an, masyarakat Wonorejo sudah memanfaatkan kincir air untuk medapatkan listrik. “Kami sudah minta ke PLN agar kampung kami dapat dialiri listrik. Namun, permintaan kami tidak dapat dipenuhi, dengan alasan jauh,” ujarnya.

Batu Kamba, salah satu lokasi objek wisata Wonorejo
Sejak itulah, kata Sukirman, masyarkat setempat berinisiatif membuat kincir air, agar kampung mereka tetap terang saat malam datang. Bahkan, menurut Sukirman, awalnyo jalan masuk ke Wonorejo hanya jalan setapak.

“Jalan itu, baru-baru ini juga dibuat. Dulu kesini hanya ada jalan setapak. Mungkin karena itu juga PLN tidak mau untuk masuk ke kampung kami,” jelasnya.

Berjalan delapan tahun, masyarakat Wonorejo merasa kincir air tidak selalu dapat mereka andalkan. Kerap rusak, karena hanya terbuat dari kayu. Setiap tahun, mereka harus memperbaiki atau mengganti kincir air dengan yang baru.

“Saat itu, bagi kami sudah lumayan terang. Namun, kendalanya itu, ya harus diperbaiki terus, kalau sudah musim hujan, kami kesulitan juga. Kincir itu hanya terbuat dari kayu, paling lama, tahannya hanya satu tahun,” ungkapnya.

1999, masyarakat Wonorejo mulai bermusyawarah untuk bisa mendapatkan energi listrik yang lebih memadai. “Awalnya itu, kita mau cari sumber energi listrik yang lebih bagus. Kebetulan, saat itu ada program dari Pro Water, mereka yang awalnya membantu kita untuk membuat PLTMHA,” ujar Sukirman.

Mereka dampingi kita dan juga memberikan pelatihan khusus kepada dua orang warga kita untuk mengelola PLTMHA, sekira dua tahun. Setelah itu, PLTMHA itu baru dikelola masyarakat Wonorejo secara swadaya, katanya.

Perbaikan PLTMHA itu dipakai dari dana iuran perbulan, sebagai biaya listrik. “Teknisi ada 2 orang dan yang mengelola keuangannya itu ada tiga orang. Setidaknya, dengan kemandirian ini, kita bisa mendapatkan listrik jauh lebih murah dibandingkan listrik yang disediakan PLN,” ungkapnya.

PLTMHA itu awal dibangun 2003, dengan kapitas 50 Kwh. Seiring berjalannya waktu dan mesin semakin tua, hingga saat ini PLTMHA tersebut hanya mampu mengasilkan 30 Kwh listrik, katanya.

Mesin PLTMHA milik masyarakat Wonorejo (Foto: IST/MCA)
2016 lalu, kata Sukirman, kita dapat bantuan dana hibah kemakmuran hijau dari Amerika Serikat, melalui pengelolaan program PSDABM Millenium Challenge Corporation (MCA) Indonesia. “Mereka saat ini membatu kita untuk revitalisasi PLTMHA dan juga membangun jalan, programnya hingga Desemeber 2017 ini,” ungkap Sukirman.

Selain itu, Azis Pusakantara, dikrektur lapangan MCA Indonesia untuk Wonorejo mengatakan bahwa dana hibah yang diberikan kepada masyarakat Wonorejo berawal akan keprihatinan atas kondisi PLTMHA yang dimiliki masyarakat.

“Januari 2016, kita datang ke Wonorejo hanya sekedar jalan-jalan saja. Namun, melihat kondisi PLTMHA itu, akhirnya kita ajukan proposal ke pusat untuk membantu revitalisasi PLTMHA tersebut,” ujar Azis.

Dikatakannya, saat ini masih dalam tahap perbaikan jalan dan penambahan kapistas listrik PLTMHA itu. “Sudah ada juga membangun rumah ilmu pengetahuan untuk berkumpulnya warga berdiskusi tentang PLTMHA. Program kita hanya sampai akhir tahun ini, kapasitas PLTMHA itu ditambah 40 Kwh lagi dan jalan masih dalam tahap pengerjaan,” ungkapnya.

Dia berharap, dengan adanya revitaslisasi PLTMHA tersebut, masyarakat Wonorejo dapat menikmati listrik lebih banyak lagi.

___ ___ ___ ___
Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Gatra, Edisi No. 07 tahun XXIV/14-20 Desember 2017, halaman 34-35

Posting Komentar

0 Komentar