Lantas apa yang membuat
kita merasa (ketergantungan) pendidikan formal itu penting? Persoalan
legalitas, bukan? Lalu, subtansi dari pendidikan itu bagaimana? Apakah sudah
merasa cukup dengan pola, kurikulum dan metode yang ada?
Mengutip pernyataan
dari Ibuk Sri Wahyaningsih, Pendiri Sanggar Anak Alam (Salam) Yogyakarta,
kecendrungan pendidikan formal lebih kepada transfer ilmu dari buku, tidak
lebih. Terlepas dari benar atau salahnya, tentu kita yang (pernah) menggeluti
dunia pendidikan itu yang lebih tahu. Renungkanlah, dan tidak perlu mencari
pembenaran atas kritikan yang dihadapkan terhadap kita.
Sudah banyak cara dan
program (pendidikan formal) dirancang dan dicanangkan, dengan tujuan agar
pendidikan sesuai dengan arah dan tujuannya.
Kenapa anda SEKOLAH
ataupun KULIAH dengan menghabiskan uang yang cukup banyak/mahal? Rata-rata
jawaban yang kerap kita dapatkan, karena ingin mendapatkan pekerjaan yang layak
dan gaji besar. Secara logika, teori itu pantas dan layak.
Manusiawi, jika
seseorang sudah mengeluarkan "modal" yang banyak, pasti menginginkan
hasil yang sepadan pula, bahkan cenderung harus lebih dari itu semua. Dan,
begitulah pendidikan di Indonesia dibangun sejak dahulunya. Lulusan disiapkan
agar mampu bersaing di dunia kerja. Lebih fokus terhadap jam kerja dan upah
yang harus didapatkan dibalik itu semua.
Lalu, dengan
formalitas-formalitas seperti itu, maka akan lahir bergaimacam spekulasi bahwa
semua harus memiliki legalitas. Jika ingin mendapatkan pekerjaan bergaji besar,
harus berpendidikan tinggi. Jika ingin dianggap sebagai ulama, harus
bersetrifikasi. Jika ingin memanfaatkan sesuatu, harus mendapatkan sertifikasi
halal, dan lainnya. Terkadang, semua malah dikur dari legalitas-legalitas yang
kenyataannya tidaklah harus sepenting itu.
Sebagai salah satu
contoh, beberapa waktu lalu, saya mendapat pernyataan kalau anak-anak setingkat
Sekolah Dasar (SD) bisa melakukan riset/penelitian yang biasa kita kenal
dikalagan mahasiswa tingkat akhir. Sepintas kita berpikir itu tidak wajar,
belum "makanan"/tingkatan mereka untuk melakukan penelitian. (Baca:
Sanggar Anak Alam Yogyakarta).
Tapi, adakah kita
kembali berpikir, apa itu riset, tujuan riset dan lainnya. Bukankah riset
merupakan proses pendalaman sebuah fakta dan menekuninya dengan aktif,
sistematis, dengan tujuan menemukan, menginterprestasikan dan merevisi fakta?
Dengan demikian, kita
menganggap dan berpikir kalau hasil riset anak SD tidaklah relevan. Kebanyakan
fakta yang kita temui di lapangan, hasil riset yang benar itu ketika dilakukan
orang dewasa dan lainnya. Seperti penyusunan sebuah skripsi, meskipun itu hanya
proses menyalin pernyataan-pernyataan dari buku, mengutip bahkan hanya sekedar
copy paste.
Tapi, dari semua
pernyataan di atas, dengan kondisi Indonesia seperti saat ini, wajar saja. Jika
tidak, ya semua yang kita lakukan tidak akan dinggap, bahkan hanya dibilang
omong kosong belaka dan akan dibully bahwa kita mengingkari proses yang selama
ini dilalui. Namun, kita seharusnya berpikir kembali, mau diarahkan kemana
pendidikan kita? Apakah hanya sebatas tujuan mendapatkan pekerjaan dengan gaji
besar atau memang kita harus kembali ke fitrah dan tujuan pendidikan itu
sendiri (baca: Tujuan Pendidikan).
Pernyataan ini bukan
hanya sekedar mengkritisi lembaga atau institusi pendidikan semata. Namun, juga
mengkritisi diri pribadi. Kemana pendidikan ini akan kita bawa dan arahkan?
0 Komentar