Bermaulid dalam Taburan Gula Keturunan India di Padang

Warga berebut gula yang dilemparkan panitia dari atas panggung dan genteng Masjid Muhammadan
 Serak Gula atau tabur gula merupakan tradisi tahunan masyarakat keturunan India di Padang. Tradisi tersebut hanya ada di tiga negara di dunia, India, Singapura dan Padang yang digelar setiap 1 Jumadil Akhir tahun hijriyah sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang telah diperoleh sepanjang tahun.

Halaman Masjid Muhammadan yang berada di Jalan Batipuah, Kelurahan Pasar Gadang, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang mulai ramai dipadati warga, sejak pukul 15.00 WIB, ruas jalan sepanjang 200 meter itu sudah mulai ditutup, beberapa orang penjaga sibuk mengatur warga dan kendaraan yang datang di sekitar lokasi.

Salah satu rumah warga yang berada di seberang jalan masjid sudah disiapkan tujuh ton gula yang dibungkus menggunakan kain warna warni, dibungkusan gula itu sekira ukuran kepal tangan orang dewasa. Panitia acara terlihat sibuk menyiapkan gula tersebut, memasukkannya ke dalam karung untuk diangkat ke atas panggung.

Yetika Rahmi (32) salah seorang warga Kota Padang terlihat antusias untuk mendapatkan gula yang dilempar dari atas panggung dan genteng masjid oleh panitia, sambil menggendong anaknya yang berumur 4,5 tahun, Yetika tidak mau kalah juga dari warga lain agar bungkusan gula berlabuh ditangannya.

Panitia membawa bungkusan gula ke atas genteng masjid sebelum dibagikan kepada warga yang hadir
Tidak ada batasan usia, agama, ras ataupun golongan, semua berbaur bergembira bersama berebut bungkusan gula dengan canda tawa. Ada yang mendapatkan banyak bungkusan gula, ada juga mereka yang tidak dapat sama sekali. Namun, kebersamaan dan kegembiraan sama-sama mereka dapatkan untuk dibawa pulang.

Menurut Yetika, fastival yang diselenggarakan umat islam keturunan India itu sangat menarik, tidak ada aturan ataupun larangan bagi orang luar (bukan keturuan India-red). “Siapa saja boleh datang, contohnya saya, saya bukan keturunan India, saya merasa ketika berada di sini, sama juga dengan mereka,” ujarnya.

Dikatannya, datang ke lokasi acara bukan niat untuk mendapatkan gula yang dibagikan tersebut. “Tradisi ini unik, sayang untuk kita lewatkan,” ujar ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan Purus, Kota Padang tersebut yang sudah berada di lokasi acara sejak pukul 15.30 WIB.

Pukul 16.15 WIB, usai melaksanakan sholat ashar berjamaah di Masjid Muhammadan, panitia mulai memberikan aba-aba melalui mikrofon, sebahagian panitia juga terlihat tengah sibuk memasang bendera berbentuk segitiga, warna hijau dan di tengahnya ada gambar bulan sabit dan bintang warna putih. Lalu, doa bersama sebagai tanda acara dimulai.

Panitia juga meminta ratusan wagra yang telah memadati halaman Masjid Muhammadan agar menjaga ketentraman, ratusan warga tersebut diminta untuk membagi dua tempat, perempuan di sebelah kanan dan laki-laki di sebalah kiri, dengan tujuan demi keamanan.

Usai pembacaan doa, ratusan pasang mata tertuju ke atas panggung dan genteng masjid, beberapa orang panitia masih terlihat membawa bungkusan gula yang dimasukkan ke dalam karung untuk dinaikkan ke atas panggung.

Panitia membawa bungkusan gula ke atas genteng masjid sebelum dibagikan kepada warga yang hadir
Berselang waktu 5 menit, acara puncak Serak Gula dimulai, dengan aba-aba dari ketua pantia, gula yang dibungkus dengan kain warna warni mulai dilempar ke kerumanan warga. Sorak sorai, canda tawa mulai menggema dan ratusan tangan yang telah menunggu mulai diangkat, sebahagian juga mencoba untuk memberi isyarat kepada panitia agar gula dilempar ke arah mereka.

Sesekali mobil pemadam kebakaran yang berada di sebelah kiri masjid menyemburkan air ke kerumunan warga, agar rasa panas sedikit terobati. Hingga pukul 17.00 WIB, tujuh ton gula yang telah dinaikkan ke atas panggung telah habis, kerumunan warga mulai menyebar dan kembali pulang, meskipun sebahagian masih ada yang bertahan untuk foto bersama ataupun selfi di lokasi.

Ketua Himpunan Keluarga Muhammadan Kota Padang, Ali Khan Abu Bakar, mengungkapkan, prosesi Serak Gula kali ini, Jumat, 16 Februari 2018, sebanyak tujuh ton gula dibagikan kepada masyarakat. Jumlah gula yang dibagikan tahun ini, jauh lebih banyak dibanding perayaan tahun lalu, yang hanya empat ton gula.

Menurtnya, gula yang mereka kumpulkan tersebut semuanya bukan berasal dari Padang saja, ada yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Medan, Bengkulu, Jambi, Riau, hingga wilayah beberapa dari dearah Jawa.

Dikatakan Ali, keluarga Muslim keturunan India di luar Kota Padang bahkan rela mengirimkan gulanya lewat saudara yang hadir dalam tradisi serak gula. Gula yang dibagikan sebelumnya juga disematkan doa, zikir, serta shalawat.

Gula juga digunakan sebagai medium pemenuhan nazar atas keinginan yang dipanjatkan pemberi gula. “Gula-gula ini sukarela. Mendekati 1 Jumadil Akhir, keluarga kami di rantau sudah tahu. Biasanya gula mulai berdatangan, kiriman dari mereka,” ujarnya.

Lanjut, Ali menyebutkan Serak Gula juga merupakan simbol kepedulian terhadap sesama. “Ini juga salah satu cara kita untuk berbagi dengan saudara-saudara kita yang kurang mampu,” jelasnya.

Tidak hanya itu, Iskandar salah seorang peneliti Serak Gula yang juga merupakan kaeturunan India di Padang menyebutkan, tradisi ini sudah berjalan sejak 200 tahun lalu, saat etnis India mulai masuk ke pesisir barat Sumatera, tepatnya di Kota Padang.

Anak-anak bersiap untuk menampung gula yang dilempar daria atas panggung dan genteng masjid menggunakan kain sarung sebagai alat penampungnya
Menurutnya, tradisi ini sudah melalui proses akulturasi budaya yang panjang bersama budaya setempat, tanpa mengurangi atau meninggalkan nilai-nilai yang dibawa langsung dari negeri asalnya, di Nagapattinam, Tamil Nadu, India.

“Tradisi Serak Gula sendiri hanya dijalankan di tiga tempat di dunia. Selain di Padang, tradisi ini juga dilakukan oleh muslim keturunan India di Singapura dan negeri asal kami di Nagapattinam, Tamil Nadu, India,” ujarnya.

Iskandar menyebutkan, dari hasil riset yang ia lakukan, tradisi Serak Gula sudah berlangsung sebanyak 491 kali. “India juga dikenal dengan kuliner manisnya. Gula ini sebagai mediasi ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Mereka bernazar, dan dengan nazar tersebut mereka bawa gula ke masjid,” ungkapnya.

Menurutnya, tradisi Serak Gula merupakan bentuk perpaduan antara kebudayaan India dan ajaran Islam. “Ini bukan bermaksud riya, ini lebih kepada ungkapan rasa sykur kita atas nikmat yang telah diberikan Tuhan, serta selah satu cara berbagi rezeki dengan saudara kita yang kurang mampu,” kata Iskandar. 

Selain itu, dia menyebutkan penelitian tentang Serak Gula berawal dari skripsinya ketika menyelesaiakan strata satu (S1) di Universitas Andalas, 20 tahun yang lalu. “Awalnya saya tulis skripsi tentang Serak Gula. Setalah tamat, saya lanjutkan penelitian itu, hingga saya juga pernah mengahdiri Serak Gula di India,” jelasnya.

Salah seorang panitia membagikan minuman (manisan) kepada warga yang hadir
Kepala Dinas Pariwisata Kota Padang, Medi Iswandi menyebutkan, pihaknya akan mendukung tradisi ini sebagai agenda pariwisata tahunan. Tahun 2018 ini, lanjutnya, untuk pertama kali Pemkot Padang memberikan bantuan finansial penyelenggaraan festival pelengkap Serak Gula.

Meski begitu, lanjut Medi, pendanaan untuk pasokan gula tetap dipenuhi sendiri oleh keluarga keturunan India sebagai pemenuhan nazar. Selain itu, Pemkot Padang tahun ini juga membantu penyediaan pengamanan dan tenaga kesehatan.

“Tahun depan, kami ingin lebih besar. Kami akan diskusikan lagi dengan keluarga Muhammadan, ide apa lagi yang akan kita digelar, sebagai agenda tahunan Padang,” ujarnya.

___ ___ ___ ___ ___ ___ ___
Tulisan ini sudah diterbitkan Majalah Gatra, edisi 01-07Maret 2018, dengan judul Bermaulid dengan Serak Gula

Posting Komentar

0 Komentar