“Tak
ada yang mengira, ribuan Pohon Cemara dan Mangrove itu akan menjadi salah satu tanggul
bagi warga Nagari Ampiang Parak terhadap terjangan Tsunami jika sewaktu-waktu
terjadi. Apa yang sudah ditanam secara tidak langsung telah menumbuhkan
kesadaran bagi masyarakt setempat akan strategi untuk selamat dari ancamanbencana. Budaya sadar bencana, memang harus kita tanam sejak dini, demi
keberlangusngan hidup bersama dan demi generasi penerus bangsa,”
Ribuan pohon cemara
tersusun rapi di sepanjang palataran pantai Ampiang Parak, Kecamatan Sutera,
Kabupaten Pesisir Selatan. Setidaknya 3.700 pohon cemara menghiasi bibir pantai
tersebut. Selain itu, 4.000 Mangrove juga terlihat menghijau.
Diketahui, informasi
dari masyarakat setempat, kawasan hijau itu dahulunya tidak ditumbuhi apa-apa,
gersang, hanya pasir pantai yang kita lihat sepanjang mata memandang.
Sejak 2015, Haridman
seorang yang merupakan ‘urang sumando’ (beristrikan orang Ampiang Parak)
mencoba menanam cemara di lokasi itu. Ternyata, menanam cemara tak segampang
kampanye seribu pohon yang digalakkan pemerintah Indonesia.
Cemooh masyarakat,
bahkan apa yang dia lakukan, dikatakan perbuatan yang sia-sia serta kerja orang
gila. Namun, semangat Haridman tak putus di tengah jalan.
Diceritakannya, awal
mula menanam cemara, tak ada masyarakat setempat yang percaya, bahwa cemara itu
akan tubuh dan menghijau di tempat tersebut. “Iya, dahulu saya dicemooh, apa
yang saya tanam, dikatakan tidak akan bisa tumbuh. Karena memang, tempat ini duhulunya
gersang,” ujar Haridman.
Namun, apa yang dia
perjuangkan, saat ini telah membuahkan hasil. Hijaunya pohon cemara menjadi
daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang ke atas tanah sepanjang 2,7
kilometer tersebut.
Nagari Ampiang Parak, Pesisir Selatan, Nagari/Desa Ekowisata dan Tangguh Bencana (Foto: Zulfikar) |
Menurutnya, diawal, tak
ada niat dan tergambar bahwa Nagari Ampiang Parak bisa seperti sekarang.
“Awalnya tak ada niat, yang jelas kita tanam saja dulu, nanti baru kita
pikirkan akan mau dijadikan apa tempat ini,” jelasnya.
Dahulu, katanya, pemuda
di sini, kebanyakan mengahbiskan waktu di warung. Jadi, ada keinginan untuk
mengalihkan ke hal-hal yang posotif, seperti ini. “Kita mulai ajak pemuda untuk
mengelola tempat ini, itu secara perlahan, hingga akhirnya, semua masyarakat
bisa merasakan dampaknya,” ucap Haridman.
Setelah cemara mulai
tumbuh, menurut Ketua Laskar Turtle Camp Nagari Ampiang Parak itu, mereka mulai
melirik adanya potensi penyu yang dapat dikembangkan di daerah tersebut.
“Disitulah, kita mulai ada keinginan untuk membuat penangkaran penyu. Dahulunya,
masyarakat di Ampiang Parak, memburu penyu, lalu telurnya diambil untuk dijual,”
katanya.
Setelah itu, kawasan
Nagari Ampiang Parak terus dikembangkan untuk dijadikan ekowisata. “Dari situlah,
kita mulai dilirik, sudah mulai ada bantuan dari pemerintah serta lembaga
swasta, hingga kita bisa menjadi seperti saat sekarang ini,” ungkapnya.
Cemara mulai menghijau,
wisatawan mulai berdatangan. “Setelah melihat hasilnya, kita (kelompok) mulai meraskan
manfaatnya. Disitulah, anggota kelompok dan masyarakat setempat bersemangat
untuk menjadikan Ampiang Parak menjadi Nagari Ekowisata,” paparnya.
Saat ini, kata
Haridman, masyarakat yang ada di Ampiang Parak sudah merasakan dampak dari apa
yang diperbuat. “Ekonomi masyarakat mulai tumbuh, ibu rumah tangga, sekarang
juga sudah bisa membuka warung di sekitar lokasi, itu juga akan turut membatu
perekonomian keluarga. Tenaga kerja dari pemuda setempat juga mulai terserap,”
ungkapnya.
Membangun
Kesadaran Tangguh Bencana
Simulasi Bencana yang dilaksanakan oleh warga Nagari Ampiang Parak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Foto: Zulfikar) |
Lalu, sejak hadirnya
lembaga sosial dari Jerman, Arbieter-Samariter-Bund
(ASB) di Nagari Ampiang Parak, masyarakat sekitar juga bisa lebih mengenal
tentang pengurangan resiko bencana. “Masyarakat sudah diberikan pelatihan, dan
semua mulai sadar, bahwa Pohon Cemara dan Mangrove yang ditanam bisa mengurangi
hempasan gelombang ke daratan. Kita ingin, Nagari Ampiang Parak menjadi Nagari
Ekowisata dan Tangguh Bencana, itu akan kita tularkan juga ke nagari
tetatangga,” jelas Haridman.
Sementara, untuk
menanam Cemara ataupun Mangrove, kata Haridman, butuh kesungguhan. Aksi nyata
untuk menjaga apa yang telah ditanam sangat diharapkan, menjaga pohon cemara
agar bisa tumbuh dengan sempurna butuh waktu 1 tahun.
“Jadi, penjagaan cemara
yang kita tanam itu butuh waktu lama, kita rawat, kita pagar agar terlindung
dari gangguan bintang, sehingga kita bisa menikmati hasilnya seperti sekarang,”
katanya.
Sementara itu, Country Director ASB Indonesia, Melina
Margaretha menyebutkan sebagai lembaga luar, keberadaan ASB di Indoensia itu
untuk mendukung program dan kebijakan pemerintah terkait desa tangguh bencana.
“Jadi, kita akan terus
melakukan peningkatan kapasitas masyarakat terkait pengurangan resiko bencana,
Kita tahu, masyarakat merupakan yang paling rentan terhadap resiko bencana,
ketika mereka (masyarakat) sudah memahami, maka resiko bencana terhadap
kelompok rentan bisa dikurangi,” ujarnya.
Meskipun kita tahu,
bahwa urusan bencana merupakan urusan semua orang, pemerintah dan kelompok
swasta, tapi juga urusan kemlompok rentan (masyarakat). “Karena pengurangan
resiko bencana itu harus melibatkan semuanya, termasuk yang paling rentan
(masyarakat),” jelasnya.
Tidak hanya sampai di
situ, menurut Melina, salah satu yang juga harus diperhatikan adalah kelompok
penyandang disabilitas. “Nah, kita juga memberikan pelatihan untuk mereka
(kelompok disabilitas). Kalau di tengah masyarakat, kan mereka yang paling
rentan ya, kalau mereka juga sudha dibekali, penguranagn risiko bencana itu
dapat kita minimalisir lagi,” ucapnya.
Pelatihan untuk
disabilitas, menurut Melina sama dengan masyarakat pada umumnya.
Dia berharap, meskipun
program ASB telah berakhir di Nagari Ampiang Parak, pemerintah setempat
diharapkan dapat melanjutkan program tresebut. “Baik dari segi pembiayaan,
perawatan peralatan dan pelatihan. Ini harus tetap berlanjut, meskipun kami
tidak lagi di sini,” katanya.
Ibu-ibu rumah tangga yang turut membantu memasang tenda dalam simulasi bencana yang dilaksanakan warna Nagari Ampiang Parak, Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Foto: Zulfikar) |
Hingga saat ini, Melina
mengklaim, sebagian besar masyarakat Nagari Ampiang Parak, umumnya sudah
memahami pengurangan resiko bencana.
Lalu, Wali Nagari
Ampiang Parak, Yusmardi mengatakan, program desa tangguh bencana akan tetap
berlanjut. Dikatakannya, pemerintah nagari akan melajutkan program itu, dengan
menyisihkan Anggaran Dana Desa (ADD) untuk program pengurangan resiko bencana.
“2019 ini, kita sudah
anggarkan Rp60 juta untuk pengurangan resiko bencana. Tahun depan, masih. Tapi
kita belum tentukan berapa jumlahnya,” ujar Yusmardi.
Dia berharap, ADD untuk
program pengurangan risiko bencana, pencairan dananya dimudahkan, tidak ribet
dan tidak berbeli-belit. “Keinginan kita, persoalan dana itu, pengurusannya
dimudahkan. Cairkan dananya dulu, adminstrasinya kemudian. Ini untuk
penanggilangan bencana, harus dipercepat,” ucapnya.
Yusmardi
mencontohkan, jika bencana terjadi, pemerintah kabupaten belum tentu bisa
datang langsung ke lokasi sehari pasca kejadian. “Nah, disitulah peran kita
sebagai pemerintah nagari. Kita berharap, pencairan dana untuk penanggulangan
bencana tidak dipersulit,” katanya. (Zulfikar)
#BudayaSadarBencana #KenaliBahaya #SiapkanStrategi #SiapUntukSelamat #KitaJagaAlam #AlamJagaKita
#BudayaSadarBencana #KenaliBahaya #SiapkanStrategi #SiapUntukSelamat #KitaJagaAlam #AlamJagaKita
___ ___ ___
Nb: Tulisan ini merupakan tulisan yang diikutsertakan Lomba Tangguh Award yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
0 Komentar