Masjid Nurul Falah (Foto: Istimewa) |
Setelah berkelana
panjang untuk menimba ilmu dan 10 tahun di Tanah Suci Mekkah, Syekh Djamil
Djaho pulang ke kampung halaman dan kembali mengabdi untuk mengajarkan ilmu
agama di bangunan kecil yang disebut surau tersebut.
Muridnya semakin
banyak, maka surau itupun diperbesar dan dijadikan tempat halaqah (belajar di
surau). Bahkan, 1924 masehi Syekh Djamil Djaho membangun komplek pendidikan
Tarbiyah Islamiyah di daerah itu.
Lalu, 1940 masehi, atas
prakarsa Syekh Djamil Djaho, surau kecil itu kembali diperbesar dinamai Masjid
Nurul Falah, hingga saat ini masih berdiri kokoh di Kota Padang Panjang yang
dijuluki Mesir Van Andalas tersebut atau yang lebih akrab dikenal saat ini
dengan julukan Serambi Mekkah.
Masjid itu dibangun di
atas tanah wakaf dengan tipe masjid raya. Namun, tak ada catatan pasti ditemui
terkait bangunan surau yang menjadi cikal bakal Masjid Nurul Falah Tersebut.
Dalam Buku
Masjid-masjid bersejarah di Indonesia karangan Abdul Baqir Zein, hanya
dutuliskan bahwa Masjid Nurul Falah awalnya adalah surau kecil berdinding kayu
dan beratapkan daun aren.
Juga tidak ada catatan
lengkap soal luas bangunan tersebut, bahkan, kapan didirikan surau yang menjadi
cikal bakal Masjid Nurul Falah itu juga tak ditemukan.
Namun, megahnya Masjdi
Nurul Falah tak lepas dari keberadaan surau kecil tempat Syekh Djamil Djaho
menimba dasar-dasar ilmu agama tersebut.
Masjid Nurul Falah (Foto: M Asrul/Repro Buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia) |
Setidaknya, sejak Syekh Djamil Djaho lahir tahun 1875 masehi, surau tersebut sudah berdiri dan menjadi tempat bagi ayahnya dalam mengembangkan ajaran agama islam, termasuk mengajarkan Syekh Djamil Djaho dasar-dasar ilmu agama sebelum ia melanjutkan berkelana ke penjuru negeri.
Saksi Pemersatu Pertikaian Kaum Muda dan Tua
Surau yang kemudian
menjadi Masjid Nurul Falah itu tak hanya merekam jejak perjalanan Syekh Djamil
Djaho sejak kecil. Namun, di masjid itu pula pertikaian antara kaum muda dan
kaum tua yang tetap mempertahankan tradisi dalam praktek ubudiyah mereka.
Sementara, kaum muda ingin memurnikan praktek ibadah sesuai dengan petunjuk
al-quran dan as-Sunah.
Konflik itu berawal
dari perbedaan sudut pandang terhadap permasalahan furu'iyah yang kemudian
berkembang menjadi konflik pribadi, bahkan kelompok dan membawa pada situasi
yang memungkinkan membahayakan persatuan umat.
Untuk menciptakan
suasana saling memahami dan pengertian itu, Syekh Djamil Djaho menyediakan
suraunya menjadi tempat silaturrahmi antara tokoh kaum tua dan muda untuk
membahas soal keagamaan, termasuk keumatan.
Di Surau Syekh Djamil
Djaho itulah kedua belah pihak berdamai dan menghilangkan segala silang
sengketa.
Melalui karyanya “Suluh
Bendang”, Syekh Djaho juga dinilai mampu menjadi penengah polemik. Bahkan, ia
merupakan tempat bertanya kaum adat.
Di dunia kajian Islam,
Syekh Djaho juga menulis buku. Ia sangat ahli dalam Ilmu Syariah Nahu.
Buku-bukunya, antara lain, Tadzkiratul Qulub, Nujumul Hidayah Firaddi ‘Ala
Ahlil Ghiwayah dan Sumusul Lamiyah fi Aqidah ad Diyaanah.
Pembaruan lain yang
digagas Syekh Djamil Djaho adalah mengubah sistem perkawinan yang selama ini
lebih kental pada adat kepada sistem Islam. Ia juga mengatur pemungutan dan
pengumpulan zakat, kursus politik di sekolah-sekolah dan menghapus sistem
tingkat kepenghuluan.
0 Komentar